Tulisan Daniel Mohammad. Rosyid
Jawa Pos, 02 Juni 2014 03:50 WIB
DONNY Gahral Adian dari UI dalam opini salah satu harian nasional
baru-baru ini mengatakan bahwa platform capres seharusnya ideologis. Donny juga
menilai tulisan Jokowi di harian tersebut, juga tentang platform revolusi
mental yang berbasis Trisakti Bung Karno, cukup ideologis. Artikel itu
menantang, di tengah berakhirnya perdebatan ideologis ”Islam yes, negara
Islam no” almarhum Cak Nur, apakah mungkin Trisakti Bung Karno dapat
diwujudkan tanpa Islam? Apakah mungkin kemandirian ekonomi dicapai dengan
sistem riba? Apakah kedaulatan politik bisa direbut tanpa khilafah?
Lalu, apakah berkepribadian dalam budaya dapat dibangun tanpa syariah? Dan,
apakah kita masih bisa menggunakan model pembangunan yang terobsesi dengan
pertumbuhan tanpa menabrak prinsip halaalan thayyiban?
Islam, yang sering dipahami sebagai
agama yang sempit secara sekuler, yang mengurus kehidupan setelah mati,
sesungguhnya adalah platform kehidupan sebelum mati bersama buat siapa pun yang
menginginkan Pancasila-Trisakti terwujud secara berkelanjutan di bumi yang fana
ini. Banyak orang mengaku muslim, tapi menolak cara nonriba dalam kehidupan
keuangannya. Sementara itu, haji bernilai puluhan triliun rupiah per tahun
hanya sebuah wisata spiritual pribadi tanpa implikasi politik global yang
bermakna. Padahal, haji Muhammad Rasulullah yang dilakukannya hanya sekali
sebelum wafatnya diakhiri dengan pidato politik tentang hak asasi manusia,
perlindungan pada harta dan perempuan, serta kehidupan bebas riba dalam sebuah
sesi yang berformat kongres. Pidato politik semacam itu oleh amirulhaj tidak
pernah ada lagi. Lalu, zakat hanya dipahami paling serius sebagai pengganti
pajak. Tantangan ini saya ajukan terutama kepada capres yang banyak menggunakan
simbol Islam untuk mendongkrak elektabilitas. Ini saya anggap penting, kecuali
jika wacana platform Pilpres 2014 ini hanya lip service untuk
membungkus sindikat perebutan kekuasaan dan bagi-bagi kursi serta uang recehan.
Di dunia yang sudah semakin interconnected
ini, kita hampir tidak mungkin menyelesaikan persoalan domestik tanpa
memperhatikan implikasi-implikasi beyond nation-state kita.
Internet dengan kekhalifahan Google sedang mengubah semua permainan.
Pemanasan global dan perubahan iklim menuntut pendekatan multilateral lintas
negara. Masyarakat Ekonomi Eropa, lalu ASEAN, APEC, dan terutama PBB, juga
World Bank dan IMF adalah bukti bahwa kita membutuhkan kerja sama dalam sebuah
format kekhalifahan tertentu.
Saat pusat ekonomi dunia bergeser ke
Asia yang dipimpin Tiongkok, kekhalifahan Amerika Serikat yang sedang surut dan
akan segera diganti mungkin oleh Tiongkok sebagai kekhalifahan baru. Fareed
Zakaria menggambarkannya dalam The Post-American World. Konflik
mutakhir di Laut China Selatan menunjukkan bahwa AS tidak bisa menerima
kehadiran Tiongkok sebagai kekuatan setara. Di Indonesia, hanya Hizbut Tahrir
yang konsisten menyerukan khilafah. Banyak orang mengambil sikap apriori
pada konsep khilafah. Padahal, khilafah adalah konsep yang sedang
diperjuangkan banyak negara nonmuslim. Gereja Katolik yang diimami Paus
Fransiskus saat ini adalah sebuah khilafah. Khilafah Islam
memiliki ciri tersendiri, salah satunya yang terpenting adalah memperlakukan
semua warganya secara adil di depan hukum.
Sudah semakin jelas bahwa sistem
keuangan global berbasis riba di bawah kekhalifahan kapitalisme AS itu gagal
membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Bahkan gagal bagi masyarakat di negara
penyokong sistem tersebut yang menyebut dirinya sebagai negara maju: Eropa dan
Amerika Utara. Sistem itu mengandalkan pertumbuhan tak terbatas yang
mengantarkannya pada berbagai rekayasa keuangan, yang kemudian hanya melahirkan
ekonomi semu berbasis utang di atas penderitaan negara-negara dan rakyat
miskin. Siapa pun penganut sistem riba dan keharusannya untuk tumbuh terus
tanpa batas harus mengembangkan PLT nuklir dan selanjutnya menjajah negara
lain. Abad ke-20 hingga awal abad ke-21 diwarnai oleh dua perang dunia serta
invasi AS ke Afghanistan dan Iraq yang dipicu nafsu untuk menguasai sumber daya
alam, terutama energi, juga memperluas lebensraum.
Perlu disadari bahwa capaian
materialistis negara-negara ”maju” itu dimungkinkan oleh ketersediaan
pembangkit listrik tenaga nuklir. Bahkan, produksi sel surya hanya menarik jika
energi yang digunakan berasal dari PLTN. Ketergantungan negara-negara maju pada
nuklir adalah fakta yang ditutup-tutupi. Prestasi mereka tidak disebabkan
keunggulan genetis dan demokrasinya, melainkan ketersediaan energi nuklir.
Jepang adalah contoh negara yang bergantung pada nuklir saat gubernur Tokyo
yang baru terpilih adalah yang pro pembukaan kembali PLTN Fukushima yang telah
hancur diterjang tsunami beberapa tahun silam.
Sistem keuangan global ribawi adalah
tantangan pertama kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi kita. Arsitektur
dan SOP sistem keuangan kita praktis menjiplak arsitektur sistem keuangan
negara-negara yang disebut maju tersebut. Itu saja sudah menandakan
ketidakberdaulatan kita secara politik saat kita harus tunduk pada politik
keuangan global yang ribawi tersebut. Sistem riba yang mengandaikan pertumbuhan
tinggi akan secara lambat namun pasti memindahkan nilai tambah dari sektor
primer ke sektor industri, lalu ke sektor jasa, dan akhirnya ke sektor
keuangan. Bank besar adalah satu-satunya unit bisnis yang tidak bisa rugi
karena akan mudah menimbulkan kegagalan sistemik dan oleh karena itu harus
ditalangi. Itu keanehan utama dalam sistem ekonomi ribawi tersebut. Beberapa
ahli keuangan tahu persis kelemahan sistem tersebut sehingga dimanfaatkan untuk
kejahatan kerah putih bernilai triliunan rupiah.
Sistem keuangan ribawi itu
mengandaikan model pembangunan yang terobsesi pada pertumbuhan tinggi. Bukti
sudah menumpuk bahwa model pembangunan tersebut tidak saja eksploitatif dan
merusak ekosistem bumi serta mensyaratkan PLTN, tapi juga menghasilkan
ketimpangan pendapatan dan kesenjangan spasial yang luas. Indonesia mencatat
rasio Gini 0,42 pada 2013, terburuk dalam sejarah modernnya. Sementara itu,
kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa menganga makin lebar. Dampak buruk obsesi
pertumbuhan pada negara kepulauan terbukti lebih parah daripada negara benua
seperti AS dan Tiongkok. Obsesi pertumbuhan tinggi menggeser economics of
needs ke economics of wants. Begitu itu terjadi,
semua cara dipakai untuk memenuhi keinginan yang tak mengenal batas tinggi
energi tersebut. Prinsip halaalan thayyiban pasti diterabas dalam
model ekonomi yang didorong oleh ekonomi keinginan.
Kemandirian ekonomi mensyaratkan
kemerdekaan ekonomi yang dirasakan oleh semua warga masyarakat. Amartya Sen
melihat pembangunan sebagai upaya pemerdekaan, development as freedom. Hanya
sistem ekonomi zakatnonribawi yang memungkinkan kemerdekaan ekonomi itu.
Transaksi-transaksi ekonomi terjadi tidak secara eksploitatif, namun berdasar
pola-pola kesetaraan dan kemitraan, bagi hasil, dan bagi rugi. Pola syariah itu
menguntungkan bagi semua warga masyarakat, tidak peduli apa pun agama dan
kepercayaan mereka. Sejarah membuktikan bahwa kekhalifahan Islam bertahan
hampir seribu tahun, sementara kekhalifahan AS belum berumur 200 tahun, tapi
sudah terhuyung-huyung dilanda berbagai krisis keuangan serius.
Kemandirian ekonomi itu bisa
dibangun melalui kedaulatan politik untuk membebaskan warga dari jebakan
eksploitatif sistem ekonomi global dan arsitektur keuangannya yang kapitalistis.
Itu semakin layak dilaksanakan jika Indonesia menggalang kerja sama
multilateral dalam sebuah kekhalifahan alternatif yang memihak sistem ekonomi
nonribawi yang berpihak pada sektor riil, mata uangnya berpatokan pada logam
mulia, melarang pasar uang, apalagi pasar spekulatif.
Di tengah kasus korupsi dana haji
oleh oknum Kementerian Agama, baiklah dikatakan bahwa selama bertahun-tahun
haji berlangsung sekadar sebagai wisata spiritual tanpa memiliki manfaat
politik-ekonomi yang bermakna. Hal itu, sebagian, disebabkan oleh kebijakan
Kerajaan Arab Saudi yang menjadikan haji hanya sebagai ritual masal belaka. Itu
tentu atas tekanan kekhalifahan AS. Praksis haji selama ini semakin jauh dari
esensi haji yang sebenarnya, yang justru telah diambil alih oleh PBB. Sayang,
PBB saat ini adalah alat negara-negara maju untuk mempertahankan dominasi
mereka. Haji seharusnya adalah sebuah sidang majelis umat Islam dunia untuk
membicarakan masalah dan tantangan yang mereka hadapi guna dirumuskan solusi
bersamanya secara lintas negara bangsa.
Tugas utama khilafah adalah
menegakkan syariah. Hanya dengan cara itu dicapai rahmatan lil 'alamin berupa
keadilan dan kemakmuran bagi semua, tidak peduli agamanya. Keadilan
mengandaikan kemajemukan dan keberagaman. Penghargaan pada kemajemukan itu
dibangun di atas semangat saling kenal untuk kemudian saling berbuat baik,
bukan saling mengeksploitasi. Pola interaksi yang setara dan saling
menghormati, tidak untuk mendominasi, adalah jalan mempertahankan kekayaan
kebudayaan lokal sebagai sebuah repertoire kepribadian bangsa. Islam
tidak menghendaki penggantian kebudayaan dan kreativitas lokal, kecuali budaya
yang mempertuhankan berhala serta menoleransi riba dan zina. Keluarga, bukan
sekolah, adalah pilihan institusi untuk memupuk kecerdasan dan kepribadian
masyarakat dengan semua keunikan lokalnya.
Menutup artikel ini, jika platform
capres 2014 seharusnya ideologis, Islam memberikan banyak inspirasi ideologis
yang menjawab tantangan kehidupan di abad ke-21 sebagai abad setelah kejayaan
AS-Eropa-Kristen surut. Hanya Indonesia-Islam yang sanggup menandingi
kebangkitan Tiongkok-Konfusius dan India-Hindu.
*) Kurator Kuliah Bung
Karno untuk Kebangsaan dan Teknologi (dmrosyid@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar