Rabu, 04 Juni 2014

Trisakti Bung Karno dan Islam

Tulisan Daniel Mohammad. Rosyid
Jawa Pos, 02 Juni 2014 03:50 WIB 
 

DONNY Gahral Adian dari UI dalam opini salah satu harian nasional baru-baru ini mengatakan bahwa platform capres seharusnya ideologis. Donny juga menilai tulisan Jokowi di harian tersebut, juga tentang platform revolusi mental yang berbasis Trisakti Bung Karno, cukup ideologis. Artikel itu menantang, di tengah berakhirnya perdebatan ideologis ”Islam yes, negara Islam no” almarhum Cak Nur, apakah mungkin Trisakti Bung Karno dapat diwujudkan tanpa Islam? Apakah mungkin kemandirian ekonomi dicapai dengan sistem riba? Apakah kedaulatan politik bisa direbut tanpa khilafah? Lalu, apakah berkepribadian dalam budaya dapat dibangun tanpa syariah? Dan, apakah kita masih bisa menggunakan model pembangunan yang terobsesi dengan pertumbuhan tanpa menabrak prinsip halaalan thayyiban?
Islam, yang sering dipahami sebagai agama yang sempit secara sekuler, yang mengurus kehidupan setelah mati, sesungguhnya adalah platform kehidupan sebelum mati bersama buat siapa pun yang menginginkan Pancasila-Trisakti terwujud secara berkelanjutan di bumi yang fana ini. Banyak orang mengaku muslim, tapi menolak cara nonriba dalam kehidupan keuangannya. Sementara itu, haji bernilai puluhan triliun rupiah per tahun hanya sebuah wisata spiritual pribadi tanpa implikasi politik global yang bermakna. Padahal, haji Muhammad Rasulullah yang dilakukannya hanya sekali sebelum wafatnya diakhiri dengan pidato politik tentang hak asasi manusia, perlindungan pada harta dan perempuan, serta kehidupan bebas riba dalam sebuah sesi yang berformat kongres. Pidato politik semacam itu oleh amirulhaj tidak pernah ada lagi. Lalu, zakat hanya dipahami paling serius sebagai pengganti pajak. Tantangan ini saya ajukan terutama kepada capres yang banyak menggunakan simbol Islam untuk mendongkrak elektabilitas. Ini saya anggap penting, kecuali jika wacana platform Pilpres 2014 ini hanya lip service untuk membungkus sindikat perebutan kekuasaan dan bagi-bagi kursi serta uang recehan.
Di dunia yang sudah semakin interconnected ini, kita hampir tidak mungkin menyelesaikan persoalan domestik tanpa memperhatikan implikasi-implikasi beyond nation-state kita. Internet dengan kekhalifahan Google sedang mengubah semua permainan. Pemanasan global dan perubahan iklim menuntut pendekatan multilateral lintas negara. Masyarakat Ekonomi Eropa, lalu ASEAN, APEC, dan terutama PBB, juga World Bank dan IMF adalah bukti bahwa kita membutuhkan kerja sama dalam sebuah format kekhalifahan tertentu.
Saat pusat ekonomi dunia bergeser ke Asia yang dipimpin Tiongkok, kekhalifahan Amerika Serikat yang sedang surut dan akan segera diganti mungkin oleh Tiongkok sebagai kekhalifahan baru. Fareed Zakaria menggambarkannya dalam The Post-American World. Konflik mutakhir di Laut China Selatan menunjukkan bahwa AS tidak bisa menerima kehadiran Tiongkok sebagai kekuatan setara. Di Indonesia, hanya Hizbut Tahrir yang konsisten menyerukan khilafah. Banyak orang mengambil sikap apriori pada konsep khilafah. Padahal, khilafah adalah konsep yang sedang diperjuangkan banyak negara nonmuslim. Gereja Katolik yang diimami Paus Fransiskus saat ini adalah sebuah khilafah. Khilafah Islam memiliki ciri tersendiri, salah satunya yang terpenting adalah memperlakukan semua warganya secara adil di depan hukum.
Sudah semakin jelas bahwa sistem keuangan global berbasis riba di bawah kekhalifahan kapitalisme AS itu gagal membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Bahkan gagal bagi masyarakat di negara penyokong sistem tersebut yang menyebut dirinya sebagai negara maju: Eropa dan Amerika Utara. Sistem itu mengandalkan pertumbuhan tak terbatas yang mengantarkannya pada berbagai rekayasa keuangan, yang kemudian hanya melahirkan ekonomi semu berbasis utang di atas penderitaan negara-negara dan rakyat miskin. Siapa pun penganut sistem riba dan keharusannya untuk tumbuh terus tanpa batas harus mengembangkan PLT nuklir dan selanjutnya menjajah negara lain. Abad ke-20 hingga awal abad ke-21 diwarnai oleh dua perang dunia serta invasi AS ke Afghanistan dan Iraq yang dipicu nafsu untuk menguasai sumber daya alam, terutama energi, juga memperluas lebensraum.
Perlu disadari bahwa capaian materialistis negara-negara ”maju” itu dimungkinkan oleh ketersediaan pembangkit listrik tenaga nuklir. Bahkan, produksi sel surya hanya menarik jika energi yang digunakan berasal dari PLTN. Ketergantungan negara-negara maju pada nuklir adalah fakta yang ditutup-tutupi. Prestasi mereka tidak disebabkan keunggulan genetis dan demokrasinya, melainkan ketersediaan energi nuklir. Jepang adalah contoh negara yang bergantung pada nuklir saat gubernur Tokyo yang baru terpilih adalah yang pro pembukaan kembali PLTN Fukushima yang telah hancur diterjang tsunami beberapa tahun silam.
Sistem keuangan global ribawi adalah tantangan pertama kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi kita. Arsitektur dan SOP sistem keuangan kita praktis menjiplak arsitektur sistem keuangan negara-negara yang disebut maju tersebut. Itu saja sudah menandakan ketidakberdaulatan kita secara politik saat kita harus tunduk pada politik keuangan global yang ribawi tersebut. Sistem riba yang mengandaikan pertumbuhan tinggi akan secara lambat namun pasti memindahkan nilai tambah dari sektor primer ke sektor industri, lalu ke sektor jasa, dan akhirnya ke sektor keuangan. Bank besar adalah satu-satunya unit bisnis yang tidak bisa rugi karena akan mudah menimbulkan kegagalan sistemik dan oleh karena itu harus ditalangi. Itu keanehan utama dalam sistem ekonomi ribawi tersebut. Beberapa ahli keuangan tahu persis kelemahan sistem tersebut sehingga dimanfaatkan untuk kejahatan kerah putih bernilai triliunan rupiah.
Sistem keuangan ribawi itu mengandaikan model pembangunan yang terobsesi pada pertumbuhan tinggi. Bukti sudah menumpuk bahwa model pembangunan tersebut tidak saja eksploitatif dan merusak ekosistem bumi serta mensyaratkan PLTN, tapi juga menghasilkan ketimpangan pendapatan dan kesenjangan spasial yang luas. Indonesia mencatat rasio Gini 0,42 pada 2013, terburuk dalam sejarah modernnya. Sementara itu, kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa menganga makin lebar. Dampak buruk obsesi pertumbuhan pada negara kepulauan terbukti lebih parah daripada negara benua seperti AS dan Tiongkok. Obsesi pertumbuhan tinggi menggeser economics of needs ke economics of wants. Begitu itu terjadi, semua cara dipakai untuk memenuhi keinginan yang tak mengenal batas tinggi energi tersebut. Prinsip halaalan thayyiban pasti diterabas dalam model ekonomi yang didorong oleh ekonomi keinginan.
Kemandirian ekonomi mensyaratkan kemerdekaan ekonomi yang dirasakan oleh semua warga masyarakat. Amartya Sen melihat pembangunan sebagai upaya pemerdekaan, development as freedom. Hanya sistem ekonomi zakatnonribawi yang memungkinkan kemerdekaan ekonomi itu. Transaksi-transaksi ekonomi terjadi tidak secara eksploitatif, namun berdasar pola-pola kesetaraan dan kemitraan, bagi hasil, dan bagi rugi. Pola syariah itu menguntungkan bagi semua warga masyarakat, tidak peduli apa pun agama dan kepercayaan mereka. Sejarah membuktikan bahwa kekhalifahan Islam bertahan hampir seribu tahun, sementara kekhalifahan AS belum berumur 200 tahun, tapi sudah terhuyung-huyung dilanda berbagai krisis keuangan serius.
Kemandirian ekonomi itu bisa dibangun melalui kedaulatan politik untuk membebaskan warga dari jebakan eksploitatif sistem ekonomi global dan arsitektur keuangannya yang kapitalistis. Itu semakin layak dilaksanakan jika Indonesia menggalang kerja sama multilateral dalam sebuah kekhalifahan alternatif yang memihak sistem ekonomi nonribawi yang berpihak pada sektor riil, mata uangnya berpatokan pada logam mulia, melarang pasar uang, apalagi pasar spekulatif.
Di tengah kasus korupsi dana haji oleh oknum Kementerian Agama, baiklah dikatakan bahwa selama bertahun-tahun haji berlangsung sekadar sebagai wisata spiritual tanpa memiliki manfaat politik-ekonomi yang bermakna. Hal itu, sebagian, disebabkan oleh kebijakan Kerajaan Arab Saudi yang menjadikan haji hanya sebagai ritual masal belaka. Itu tentu atas tekanan kekhalifahan AS. Praksis haji selama ini semakin jauh dari esensi haji yang sebenarnya, yang justru telah diambil alih oleh PBB. Sayang, PBB saat ini adalah alat negara-negara maju untuk mempertahankan dominasi mereka. Haji seharusnya adalah sebuah sidang majelis umat Islam dunia untuk membicarakan masalah dan tantangan yang mereka hadapi guna dirumuskan solusi bersamanya secara lintas negara bangsa.
Tugas utama khilafah adalah menegakkan syariah. Hanya dengan cara itu dicapai rahmatan lil 'alamin berupa keadilan dan kemakmuran bagi semua, tidak peduli agamanya. Keadilan mengandaikan kemajemukan dan keberagaman. Penghargaan pada kemajemukan itu dibangun di atas semangat saling kenal untuk kemudian saling berbuat baik, bukan saling mengeksploitasi. Pola interaksi yang setara dan saling menghormati, tidak untuk mendominasi, adalah jalan mempertahankan kekayaan kebudayaan lokal sebagai sebuah repertoire kepribadian bangsa. Islam tidak menghendaki penggantian kebudayaan dan kreativitas lokal, kecuali budaya yang mempertuhankan berhala serta menoleransi riba dan zina. Keluarga, bukan sekolah, adalah pilihan institusi untuk memupuk kecerdasan dan kepribadian masyarakat dengan semua keunikan lokalnya.
Menutup artikel ini, jika platform capres 2014 seharusnya ideologis, Islam memberikan banyak inspirasi ideologis yang menjawab tantangan kehidupan di abad ke-21 sebagai abad setelah kejayaan AS-Eropa-Kristen surut. Hanya Indonesia-Islam yang sanggup menandingi kebangkitan Tiongkok-Konfusius dan India-Hindu.
*) Kurator Kuliah Bung Karno untuk Kebangsaan dan Teknologi (dmrosyid@gmail.com)

Tidak ada komentar: